PARTAI politik seharusnya menjadi teladan dalam pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, fungsi tersebut sering bersilang sengkarut dengan tujuan naluriah partai, yakni untuk meraih kekuasaan.
Atas dasar tujuan tersebut, agenda pendidikan politik dan rekrutmen pemimpin sering terabaikan. Kerap terjadi gejolak dan benturan dengan partai lain, bahkan di dalam tubuh partai itu sendiri.
Itulah yang kini sedang melanda Partai Golkar. Partai berlambang beringin itu terbelah dua faksi, yakni faksi Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie dan kubu Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono.
Mahkamah Partai Golkar yang digadang-gadang bisa menyelesaikan konflik mengeluarkan putusan abu-abu. Empat anggota mahkamah partai tidak bulat memutus sengketa itu. Kesamaan pendapat terjadi antara Muladi dan HAS Natabaya yang memutuskan tidak memenangkan satu pihak, sementara Djasri Marin dan Andi Mattalatta secara tegas memenangkan kubu Agung Laksono.
Putusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dua hari lalu yang mengesahkan kepengurusan versi Agung Laksono ternyata juga tidak mendorong kedua faksi segera bersatu. Kubu Aburizal malah melakukan langkah hukum dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak sampai di situ, badai di tubuh Golkar juga merembet ke pidana setelah kubu Aburizal melaporkan dugaan mandat palsu yang dilakukan sejumlah pengurus versi Agung Laksono.
Perseturuan internal Golkar tidak hanya di DPP, tetapi juga merembet ke provinsi dan kabupaten/kota. Di Lampung, Golkar memiliki dua kepengurusan, yakni Ketua DPD I versi Munas Bali di bawah kendali M Alzier Dianis Thabranie dan Ketua DPD I Golkar versi Munas Ancol Heru Sambodo.
Akar dari konflik ini sebenarnya adalah perbedaan orientasi dua faksi. Faksi Agung Laksono ingin bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sedangkan faksi Aburizal ingin menjadi oposisi bersama Koalisi Merah Putih (KMP).
Konflik yang berlarut-larut ini jika tidak segera diselesaikan akan semakin memperburuk citra Golkar di masyarakat. Bahkan, bisa mengancam eksistensi partai itu dalam pemilihan umum kepala daerah serentak yang akan digelar akhir tahun ini. Partai yang memiliki jumlah kursi yang cukup signifikan itu terancam tidak bisa mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Kedua kubu sudah sepatutnya menyamakan persepsi tentang posisi Golkar pasca-Pilpres 2014. Berada dalam pemerintahan tidaklah haram. Begitu juga jika ingin menjadi oposisi juga pilihan yang baik, asalkan tidak bertujuan merongrong pemerintah.
Seluruh kader Golkar harus kembali bersatu melakukan konsolidasi untuk menyusun program sekaligus menyongsong pemilukada serentak 2015 dan mempersiapkan Pemilu 2019. Di negara hukum ini, semua orang harus menghargai proses hukum lebih dari cara-cara yang lain, apalagi cara anarki. Itu sebabnya, sambil menunggu kepastian hukum yang final, semua pihak yang bertikai hendaknya saling membuka diri untuk berislah.
Beringin harus kembali teduh mengayomi seluruh kader. Sebab, mengayomi, menyejahterakan rakyat, dan menyiapkan pemimpin berkualitas lebih penting ketimbang berkonflik.
Belakangan muncul istilah Musyawarah Nasional (Munas) Tandingan dan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Tandingan di dalam tubuh Partai Golkar. Tuduhan itu ditujukan terhadap Munas yang berlangsung di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014, termasuk keputusan-keputusannya. Pasalnya, pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2014, juga berlangsung Munas di Bali. Dua struktur kepengurusanpun sudah dilaporkan kepada Kementerian Hukum dan HAM guna diverifikasi dan dinyatakan sebagai kepengurusan yang sah menurut hukum positif yang berlaku.
Banyak pendapat berserakan di media massa menyangkut Munas mana yang legal, mana yang abal-abal. Termasuk putusan-putusan yang sudah diambil. Di luar itu, konflik yang dihadapi Partai Golkar sekarang adalah konflik terbesar sepanjang sejarah partai moderen ini. Dalam usia 50 tahun, partai politik tertua ini justru mengalami masalah yang akan mengubah wajah Partai Golkar ke depan. Bukan hanya sisi legalitas, melainkan juga dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan.
Sehingga, diperlukan kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah ini, baik dari kalangan internal Partai Golkar, maupun pihak terkait termasuk dan terutama pemerintah dan lembaga peradilan. Apabila penanganan yang dilakukan emosional dan berdasarkan pamer kekuasaan semata, bisa dipastikan bahwa Partai Golkar bakalan mengalami konflik permanen, struktural dan masif yang sulit dicarikan jalan keluar. Konflik yang selama ini terkelola dengan baik, hanya berlangsung secara tertutup, belakangan menjadi terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas.
Akar Konflik
Apabila diurutkan secara kronologis, tanpa menyertakan tanggal-tanggal, akar konflik Partai Golkar dapat dirunutkan sebagai berikut:
Pertama, pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta. Mandat itu berisi dua opsi, yakni (1) menetapkan ARB sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar, dan (2) memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin komunikasi dan koalisi dengan partai politik manapun. Fakta politik yang terjadi, ARB tidak menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam pemahaman yang berbeda, mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah membawa Partai Golkar untuk mengusung pasangan Capres dari non kader dan partai politik lain.
Kedua, upaya Partai Golkar mengusung Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus, fungsionaris dan kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup, beberapa pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK. Keberadaan JK sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan itu. Di sinilah drama dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk tidak memecat kader seperti itu, ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB mengatakan bahwa pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan jabatan, selama Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada pemecatan tiga orang kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.
Ketiga, masalah baru kemudian muncul, yakni waktu pelaksanaan Munas Partai Golkar. Kader-kader senior yang terlibat dalam Munas Riau, mengingatkan soal perbedaan antara Anggaran Dasar Partai Golkar dengan rekomendasi Munas. Sesuai dengan amanat pasal 30 Anggaran Dasar Partai Golkar, Munas adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. Mengingat Munas Riau 2009 berakhir pada tanggal 08 Oktober 2009, berarti Munas Partai Golkar dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 08 Oktober 2014. Hanya saja, ada rekomendasi Munas Riau yang menyebutkan perpanjangan waktu kepengurusan, sampai tahun 2015. Upaya untuk mendesak agar Munas Partai Golkar disesuaikan dengan AD Partai Golkar dilakukan.
Keempat, bukannya malah berupaya memberikan penjelasan yang memadai menyangkut perbedaan tafsiran antara penganut AD Partai Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP Partai Golkar dibawah ARB malahan memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai Golkar yang mendesak Munas dilaksanakan sesuai dengan AD Partai Golkar. Sejumlah pengurus dicopot atau digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan, “Apa mereka yang menghendaki Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan sebagai Dewan Pengurus DPP Partai Golkar?” Konflik ini bisa diselesaikan, walau tetap saja sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai Golkar, nyaris tanpa komunikasi politik yang cukup.
Kelima, situasi baru muncul, akibat voting menyangkut UU tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah di DPR RI. Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ternyata mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah. Sanksi kemudian datang dengan cepat, yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam tubuh Partai Golkar. Konflik baru ini masih terbatas, tidak meluas. Kalangan elite Partai Golkar malah semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi Munas pada bulan Januari 2015. Kandidat-kandidat Ketua Umum Partai Golkar bermunculan, antara lain Agung Laksono, MS Hidayat, Airlangga Hartarto, Priyo Budi Santoso, Hadjriyanto Thohari, Zainuddin Amali dan Agus Gumiwang. Kandidat-kandidat yang bersaing itu melakukan konsolidasi secara diam-diam atau terang-terangan.
Keenam, konflik baru muncul, akibat pergerakan di lapangan. Atas nama DPP Partai Golkar, terjadi penggalangan politik untuk mengusung ARB sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar untuk kedua kalinya. Gerakan itu melibatkan DPD-DPD I Partai Golkar. Pertemuan-pertemuan tertutup diadakan, baik di Jakarta, maupun di masing-masing pulau atau provinsi. Masalahnya, antara gerakan politik dengan ucapan berseberangan. Hal inilah yang memicu desas-desus politik yang sulit dikendalikan. Desas-desus itu bertambah runyam, ketika kandidat Ketua Umum Partai Golkar diluar ARB dibatasi pergerakannya. Bahkan, atas nama revitalisasi kepengurusan, sejumlah pengurus Partai Golkar di daerah-daerah digeser atau dicopot dari jabatannya, mengulangi pola yang terjadi dalam tubuh DPP Partai Golkar.
Ketujuh, masalah jegal-menjegal tentu sudah “biasa” di kalangan politisi, hanya saja tercium upaya agar Munas Partai Golkar dilakukan tidak sesuai dengan jadwal yang sudah “sama-sama dimaklumi”, yakni Januari 2015. Dalam keadaan semacam itu, diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mencarikan jalan keluar. Rapat Pleno memutuskan agar Rapimnas VII Partai Golkar sama sekali tidak membahas agenda Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu aktual. Sebelum Rapat Pleno diadakan, sudah terjadi Rapat Koordinasi Partai Golkar dengan menghadirkan DPD-DPD I di Bandung. Skenario tertutupnya adalah Munas dilakukan sesegera mungkin, dengan tujuan memenangkan ARB sebagai Ketum. Namun, upaya itu berhasil dipatahkan dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar. Walau demikian, pergerakan politik terus dilakukan, yakni pertemuan informal antara DPD I Partai Golkar dengan Nurdin Halid di Bali. Secara bersama-sama, mereka ingin datang ke acara Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, langsung dari Bali.
Kedelapan, situasi menjadi matang, ketika Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta ternyata membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal Munas disepakati, yakni 30 November – 2 Desember 2014. Tempat Munaspun ditetapkan, yakni Bandung, dengan opsi Surabaya dan Bali. Para pengurus DPP Partai Golkar yang berbeda tafsiran menyangkut kewenangan Rapimnas, sebagaimana diatur dalam AD-ART Partai Golkar, sama sekali diabaikan.
Kesembilan, konflik yang bersifat tertutup kemudian menjadi terbuka, diawali ketika diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mengesahkan rancangan materi Munas Partai Golkar. Walau mengusai penuh arena Rapimnas Partai Golkar yang dikendalikan oleh DPD-DPD I Partai Golkar, ternyata mayoritas pengurus DPP Partai Golkar semakin sulit dikendalikan. Kedatangan “AMPG” yang berpakaian lengkap, baru dan berjalan rapi, ternyata mengundang sentimen baru. Dalam waktu beberapa saat saja, muncul ratusan “AMPG” lagi, sehingga memicu konflik terbuka. Rapat Pleno DPP Partai Golkar gagal dilaksanakan, terutama dalam rangka mendengarkan paparan SC Munas, guna disahkan sebagai draft Munas Partai Golkar pada masing-masing komisi. Upaya untuk menskor Rapat Pleno, ternyata berbuah kepada perebutan palu. Ketua Umum Partai Golkar ARB dan Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham kemudia dipecat, karena dianggap tidak mampu melanjutkan Rapat Pleno hingga selesai, sebagai syarat legal guna menuju arena Munas. Sejak saat itulah, terbentuk Pejabat Sementara Ketua Umum Partai Golkar, lalu Presidium Penyelamat Partai Golkar sebagai wadah politiknya. DPP Partai Golkar dikuasai secara penuh.
Kesepuluh, walau tidak berhasil mengendalikan DPP Partai Golkar, serta dalam status pemecatan terhadap Ketua Umum dan Sekjen, Munas Partai Golkar tetap diselenggarakan di Bali, pada tanggal November – 2 Desember 2014. Perbedaan pendapat terjadi, termasuk di kalangan Presidium Penyelamat Partai Golkar. Munas Partai Golkar di Bali dipantau dari dekat. Upaya islah yang coba dilakukan oleh Dr Akbar Tandjung ternyata tidak berhasil. Sesuai dengan upaya dan skenario yang sudah dilakukan sebelumnya, terjadi Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum Partai Golkar yang sudah tidak lagi mewakili mandat yang dibawa dari Rapat Pleno DPP Partai Golkar.
Kesebelas, tanpa menunggu waktu lama sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tentang Partai Politik berkaitan dengan pendaftaran kepengurusan, DPP Partai Golkar dengan pejabat sementara Ketua Umum Agung Laksono, melakukan Munas di Ancol pada 6-8 Desember 2014. Kedua Munas melahirkan dua kepengurusan. Proses pendaftaran kepada Kementerian Hukum dan HAM dilakukan pada hari yang sama, yakni 08 Desember 2014. Lalu, disinilah dimulai etape berikutnya menyangkut keberadaan Partai Golkar ke depan.
KETERBELAHAN Partai Golkar antara kubu Munas Bali (Aburizal Bakrie cs) versus kubu Munas Ancol (Agung Laksono cs), berujung tragis! Pemerintahan Jokowi-JK melalui Kemenkumham "menolak dengan cara sangat halus" untuk mengakui keabsahan kepengurusan hasil Munas Bali maupun Munas Ancol. Keputusan untuk hanya mengakui kepengurusan hasil Munas Pekanbaru 2009 dan mengembalikan kemelut Golkar ke mahkamah partai, sejatinya sama dengan menyuruh Golkar melakukan Munas ulang. Seperti diketahui, Munas Pekanbaru antara lain memutuskan Aburizal sebagai ketua umum Golkar, dan Agung sebagai wakil ketua umum.
Keputusan tersebut
tepat, sebab dengan begitu Pemerintah tidak ikut-ikutan "bermain api"
yang hanya akan membakar "tumpahan bensin" di areal rumah tangga
Golkar. Keputusan tersebut pun cukup taktis dari kepentingan stabilitas
pemerintahan. Dapatlah dibayangkan, apabila Pemerintah mengakui salah satu
kubu, maka energi kerja Pemerintah bakal terkuras menghadapi "serangan politik"
yang kian liar dari kubu yang kecewa.
Bila dicermati,
perpecahan Golkar bersumber pada masalah ideologis. Sejak mulanya, ideologi
Golkar adalah "Karya-kekaryaan", yang mengandaikan Golkar mengambil
posisi seiring-sejalan dengan setiap pemerintahan. Political positioning ini
dimaksudkan agar Golkar aktif berkarya dalam pembangunan menuju tercapainya
kesejahteraan rakyat sebagai pertanggujawaban amanat penderitaan rakyat.
Mengacu pada warta
media, bila dicermati dengan seksama, kubu Agung menganggap Munas Bali di bawah
pengaruh Aburizal telah mengambil posisi politik yang rentan dengan cara
menolak Perppu Pilkada. Keputusan ini dianggap dapat memicu resistensi politik
di tengah masyarakat. Kekecewaan masyarakat bisa membuat Golkar kian terasing
dan terpinggir dalam kompetisi pemilu, dan bukan tidak mungkin bisa
mengakibatkan Golkar tertinggal sebagai partai fosil.
Munas Bali telah
mengambil posisi politik berseberangan dengan rezim Jokowi-JK, dengan
memperkuat positioning dan struktur Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai
kekuatan oposisi. Munas Bali pun mendorong pembentukan struktur KMP hingga ke
wilayah Kabupaten/Kota, sebuah tindakan politik yang dipandang sungguh beresiko
karena potensial merongrong stabilitas pemerintahan hasil Pilpres 2014. Muncul
kecurigaan Aburizal bakal membonceng KMP dalam menyiapkan strategi pelemahan
sistem presidensial melalui tangan parlemen yang bisa saja melahirkan drama
politik impeachment.
Mungkin saja, kubu
Agung menganggap hasil Munas Bali menyimpan potensi bahaya politik yang sangat
besar atas eksistensi dan masa depan Golkar. Indikasinya, Munas versi Agung cs
yang sebelumnya direncananya berlangsung pada Januari, tiba-tiba dimajukan
hanya beberapa hari setelah usainya Munas Bali versi Aburizal.
Diperkirakan, tindakan cepat Agung menggelar Munas Ancol merupakan
langkah antitesa untuk menjaga marwah karya-kekaryaan Golkar.
Indikasinya, Munas Ancol pun membuka ruang kompromis dengan rezim Jokowi-JK
dengan harapan agar Golkar tetap dapat berkarya dalam pemerintahan.
Sebaliknya, kubu
Aburizal memandang Munas Bali telah sah berdasarkan ketentuan konstitusi partai
(AD/ART). Bisa jadi, kubu Aburizal memandang bahwa memperkuat posisi Golkar
sebagai kekuatan penyeimbang (oposisi), merupakan bagian dari konstribusi
Golkar dalam pembangunan bangsa. Apalagi Golkar telah mendeklarasikan Visi 2045
di mana Golkar berikhtiar membawa Indonesia menjadi negara kesejahteraan (walfare
state).
PERPECAHAN Golkar saat ini menjadi ironi terbesar dalam
perjalanan sejarah Golkar sebagai kekuatan politik paling berpengaruh di
Indonesia selama puluhan tahun berjalan. Suka tidak suka, senang tidak senang,
mau tidak mau, setelah Pemerintah menolak mengakui kepengurusan versi Munas
Bali dan versi Munas Ancol, maka secepatnya Golkar mesti mencarikan solusi
untuk mengatasi kemelut internalnya.
Solusi paling rasional
dan tidak mungkin terhindarkan adalah menyelenggarakan kembali Munas Golkar
yang bernuansa rekonsiliasi, atau boleh pula disebut sebagai Munas luar biasa.
Dengan demikian, Munas IX tahun 2014 yang diklaim oleh kedua kubu (Bali dan Ancol)
sama-sama sah dan sesuai AD/ART, harus diulang penyelenggaraannya oleh
kepengurusan hasil Munas Pekanbaru 2009. Itu artinya, Munas rekonsiliasi itu
harus menyertakan sekaligus Aburizal dan Agung sebagai penyelenggaranya.
Namun, jika kedua kubu
ngotot, dan gagal merealisasikan Munas rekonsiliasi, maka kondisi Golkar
bakal menjadi lebih kacau, ibarat ungkapan "menang jadi abu,
kalah jadi arang". Munas rekonsiliasi mesti diposisikan sebagai
gerakan antitesis dari konflik konyol yang terlanjur memecah-belah Golkar.
Munas rekonsiliasi mesti diarahkan untuk menegakkan kembali eksistensi Golkar
sebagai partai berbasis kebangsaan yang menjadi pelopor pertumbuhan budaya
demokrasi dan pengelolaan sistem demokrasi di Indonesia.
Linear dengan amanat
UUD 1945 bahwa partai politik merupakan sokoguru demokrasi, maka Munas
rekonsiliasi mesti mampu memilih pemimpinnya melalui
cara-cara demokratis, bukan dengan cara-cara kotor dan menghalalkan
segala cara. Dari perspektif substansi, Munas rekonsiliasi mesti mampu
membuktikan bahwa Golkar adalah partai besar yang mengandalkan rasionalitas
konstitusi, dan bukan intrik-intrik politik rendahan.
Golkar bakal memetik
respek kolektif dari internal Golkar sendiri maupun eksternal Golkar, apabila
kedua tokoh kunci yang berseteru yakni Aburizal dan Agung mau berjiwa besar
untuk tidak maju lagi dalam pertarungan merebut posisi ketua umum. Selain
karena keduanya terlanjur menyimpan potensi konflik di Golkar, juga karena
Golkar sudah harus melakukan regenerasi kepemimpinan. Sosok Aburizal dan Agung
semestinya sudah jadi bagian dari pengayom dan pemberi pertimbangan bagi
Golkar. Lompatan generasi dari era Aburizal-Agung, ke generasi yang lebih muda,
bakal makin memperkuat positioning dan pengaruh Golkar dalam percaturan
politik kontemporer Indonesia di masa datang.
Sumber : http://www.flobamora.net
No comments:
Post a Comment