YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Thursday, June 11, 2015

HEBOH BERAS PLASTIK (tinjauan dari hak asasi masyarakat)



Sejak beberapa hari terakhir, masyarakat heboh dengan peredaran beras yang mengandung bahan sintetis berbahaya semacam senyawa plastik. Kemunculan beras plastik di Bekasi yang menjelang puasa dan di saat suasana politik sedang memanas menimbulkan tanda tanya besar siapa yang bermain-main di komoditas pangan ini.

Pemerintah dan Kepolisian tentu saja dianggap kecolongan pengawasan jika beras plastik tersebut berasal dari impor. Bahkan sampai pada pengujian laboratorium pun, pemerintah terkesan lamban dalam menangani kasus ini.

Sebenarnya bagaimana misteri beras plastik di Indonesia bisa terungkap? Dan apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi warga dari bahaya yang mengancam pada beras plastik tersebut?

Penemuan beras plastik bermula dari laporan warga Mutiara Gading Timur, Kelurahan Mustika, Bekasi, Jawa Barat, Dewi Septiana pada Selasa, 19 Mei 2015. Pedagang makanan ini menemukan keganjilan dengan beras yang di masak. Sebagian beras tidak bisa bercampur dengan air.

"Airnya itu, posisinya ada di atas tidak campur sama nasi. Pada saat masak bubur, nasinya malah ngendap ke bawah, airnya ke atas. Jadi nggak menyatu. Malahan kita masak lagi, proses  banyak air, berasnya malah pecah, nggak hancur seperti masak bubur seperti biasannya," kenang Dewi.

Beras yang dia beli seharga Rp 8.000 per liter tersebut bila dimakan pun rasanya berbeda dengan beras pada umumnya."Rasanya tawar. Kalau bau khas nasi kan wangi, ini baunya tawar aja. Rasa di mulut agak getir," tambah Dewi.

Dia mengakui, pada pedagang beras langganannya itu memang menjual beras palsu, namun dicampur dengan beras lokal biasa seperti setra ramos karawang hingga sekilas sulit dibedakan. "Warna putih, sama seperti beras asli. Bedanya kalau beras asli kan ada guratannya, kalau dia (beras palsu) halus saja," kata Dewi

Menindaklanjuti dugaan beredarnya beras plastik, petugas Polsek Bantargebang Bekasi, Jawa Barat, mendatangi satu toko beras untuk mengecek langsung kebenaran adanya beras plastik tersebut. Dia menyebutkan, pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian dan pemerintah daerah untuk menyakinkan kebenaran beras plastik tersebut.

"Kami masih perlu meyakinkan betul atau tidak beras tersebut dari plastik, biarlah petugas BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang mengecek langsung untuk meneliti kandungan di dalamnya,"

Setelah menangkap penjual beras plastik,  Polsek Bantar Gebang bertindak cepat dengan mendatangi Pasar Mutiara Gading Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat. Tujuannya mengambil sampel beras satu karung untuk diteliti di laboratorium. Polisi juga meminta keterangan para penjual dan pegawai kios beras. "Informasinya (beras plastik), cuma kita belum ke laboratorium dulu untuk pengecekan secara bukti nyata," 


Lalu bagaimana respons pemerintah atas temuan beras plastik di Bekasi?

Dikonfirmasi bertepatan dengan laporan Dewi Septiana atas beras plastik, Menteri Pedagangan (Mendag) Rachmat Gobel awalnya mengaku belum mengetahui peredaran beras plastik di masyarakat.

"Kan ada pengaduan, saya musti cek. Apakah betul ada itu atau tidak? Itu beras apa, saya belum tahu beras plastik. Saya tahunya dari kawan media semua," kata Rachmat.

Dia menegaskan pemerintah tidak mengizinkan siapa pun mengimpor beras palsu. Artinya, kalau di pasar ditemukan beras palsu, dipastikan itu barang selundupan. Pengedar beras palsu berbahan plastik itu bisa dihukum karena menjual produk yang membahayakan kesehatan masyarakat.

"Ada tindakan hukum karena sudah membahayakan masyarakat. Ini memberikan dampak kesehatan terhadap masyarakat," ungkap Rahmat Gobel.

Sebab dari pernyataan Dokter spesialis gizi klinik dari RS Cipto Mangunkusumo Inge Permadi, jika benar beras palsu tersebut mengandung plastik, maka orang yang memakannya berisiko kanker.

"Plastik adalah salah satu benda asing yang berbahaya untuk dikonsumsi. Bila benda itu masuk ke dalam saluran cerna dan mengendap di saluran pencernaan, maka benda ini bisa memicu kelainan atau perubahan sel yang lama kelamaan bisa memicu kanker," kata Inge.

Terkait asal usul beras plastik dari China, Kasubdit Humas DJBC Haryo Limanseto mengaku pihaknya meragukan impor tersebut. Sebab sepengetahuannya, Indonesia selama ini hanya memasok beras dari Thailand dan Myanmar.

"Kita pasok dari Vietnam dan Thailand. Dari Tiongkok nggak, tapi semua informasi itu perlu.  Bea Cukai akan kita jadikan prioritas," ujar dia. Selain itu, dia mengungkapkan, Bea dan Cukai selama ini juga belum pernah menemukan indikasi masuknya beras plastik impor ilegal meski kerap menangkap penyelundupan beras.

"Kalau tangkapan yang kami lakukan tidak pernah indikasi beras mengandung plastik, tangkapan beras kan rutin terutama pesisir Sumatera," tambah dia.

Haryo bahkan menduga keberadaan beras plastik bukan dari impor. Namun ini merupakan produksi lokal alias oplosan dari dalam negeri untuk mendapatkan keuntungan lebih.

Senada, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Yazid Fanani menambahkan, pihaknya sedang melakukan pendalaman terhadap sumber beras plastik yang ditemukan di Bekasi. "Asal beras masih terbatas dari beras lokal yakni di wilayah sekitaran Bekasi. Tapi ini perlu pendalaman lebih lanjut," terang dia.

Benarkah beras mengandung plastik?
Untuk mengusut tuntas kasus ini, Kemendag sudah menggandeng Bareskrim guna melacak dan meminimalisir peredaran beras yang membahayakan tersebut. Bahkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) melakukan inspeksi mendadak di sejumlah pasar paska penemuan beras plastik ini, seperti di Tasikmalaya dan pasar lain.
Juga yang dilakukan petugas Unit Pelaksana Tekhnis Daerah (UPTD) Pasar Kranggot, Kota Cilegon, Banten, memperketat pengawasan peredaran beras. Petugas pun merazia sejumlah toko beras di kota itu.Sayangnya, langkah pemerintah pusat kalah cepat dengan pemerintah Kota Bekasi. Menggandeng Sucofindo untuk menguji secara klinis di laboratorium mengenai kandungan beras plastik tersebut.
Hasilnya dua sampel beras yang beredar di Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, dipastikan palsu dan mengandung tiga bahan kimia berbahaya.

“Kami melakukan uji laboratorium dengan alat yang sensitif dan profesional. Beras ini dibedakan sampel 1 dan 2, secara fisik hampir sama. Hasilnya ada suspect, kandungan yang biasa digunakan untuk membuat bahan plastik,” ujar Kepala Bagian Pengujian Laboratorium Sucofindo, Adisam ZN. Adisam mengaku ada senyawa plasticizer penyusun plastik yang ditemukan dalam beras tersebut. Antara lain Benzyl butyl phthalate (BBP), Bis(2-ethylhexyl) phthalate atau DEHP, dan diisononyl phthalate (DIN).
“Senyawa plasticizer ini biasa digunakan untuk melenturkan kabel atau pipa plastik,” ujar dia.
Dia menjelaskan, pengujian ini dilakukan menggunakan alat spektrum infrared untuk melihat apakat terdapat senyawa polimer seperti plastik dalam beras tersebut. Hasilnya, kata dia, terdapat senyawa yang identik dengan polimer. “Beras alami, tidak mengandung senyawa-senyawa seperti ini,” kata Adisam. “Ada senyawa lain dalam kandungan beras tersebut yang sengaja dicampur. Kami menduga, ada kesengajaan memasukkan senyawa lain yang dicampur dengan beras,” ucap dia.
Hasil uji laboratorium yang dilakukan Sucofindo membuktikan kebenaran beras plastik, namun hal ini berbeda dengan Penelitian Puslabfor Mabes Polri yang menyebut tidak ada bahan plastik pada sampel beras yang sebelumnya disebut-sebut mengandung beras sintetis. Hal ini akhirnya berbuntut dengan dipolisikannya Dewi Septiani, pelapor beras plastik.
Tindakan aparat ini disayangkan berbagai pihak, salahsatunya disuarakan oleh Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM). PAHAM sebut jangan sampai temuan tersebut membuat pelapor Dewi Septiani trauma, apalagi sampai merasa menerima intimidasi dari aparat.
“Bila hal ini terjadi, orang akan cenderung abai dan tidak mau melapor apabila melihat sebuah kejahatan,” tegas Sekjend Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari, dalam siaran persnya (Kamis, 28/5).
Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu Dewi adalah tindakan konsumen yang baik. Itu adalah upaya preventif untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya buruk bahan makanan yang diduga dari platik. Oleh karenanya, langkah waspada yang demikian harus dicontoh oleh anggota masyarakat lainnya.
“Bahwa yang dilakukan oleh Dewi Septiani adalah early warning, yang seharunya merupakan kewajiban apparat terkait untuk menindaklanjuti,” ungkapnya.

PAHAM menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan. Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan.
“Namun secara umum, hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan,” terang kandidat Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Karena itu PAHAM mendorong agar Kapolri memberikan penghargaan kepada Dewi Septiani dan memberikan sanksi kepada oknum yang diduga mengintimidasi.

“Saya rasa layak Pak Badrodin Haiti memberikan penghargaan kepada Bu Dewi. Karena sebagai warga negara yang baik telah memberikan laporan sebagai bentuk kewaspadaan sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Hal ini untuk merangsang agar masyarakat peduli dengan persoalan hukum yang ada di sekitarnya. Disisi lain, apabila memang terbukti ada oknum aparat yang melakukan intimidasi selayaknya pula Kapolri berikan teguran atau sanksi”, tegasnya.
Meskipun Presiden Jokowi menyatakan bahwa isu beredarnya beras plastik ini jangan terlalu dibesar-besarkan, namun sudah terlanjur menyebar dan meresahkan masyarakat. Nasi yang berasal dari beras, makanan pokok rakyat Indonesia, terduga tercampur dengan plastik yang bentuk dan warnanya menyerupai beras.
Secara terpisah, Kementerian Pertanian (Kemtan) menyatakan dugaan beras plastik yang ditemukan di Bekasi, Jawa Barat itu masuk ke Indonesia secara ilegal.
Beras yang mengandung zat berbahaya tidak mungkin mendapat izin beredar. “Itu jelas ilegal dan itu bentuk kriminal. Itu kan plastik tidak sehat,” ujar Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Hasil Sembiring.
Isu tentang beras plastik ini sudah menyebar ke semua pedagang yang ada di Pasar Induk Tanah Tinggi. Para pedagang menyesalkan tindakan pihak yang membuat beras plastik tersebut.
Kriminalisasi dan pembongkaran aib pemerintahan memang sangat beresiko bagi kalangan rakyat terjajah, seperti pelapor beras plastik Dewi Nurriza Septiani. Beliau memberikan laporan tentang adanya beras yang berasal dari bahan plastik yang sekarang “Katanya” menteri pertanian periode kabinet Joko Widodo, Andi Arman Sulaiman meminta penjelasan pelapor tentang beras plastik yang “Katanya” tidak ada, Menteri mempertegas kepada pelapor harus mempertanggung jawabkan atas isu beras plastik yang terlanjur tersebar luas di Indonesia kepada pihak berwajib karena mengundang keresahan dan ditakutkan adanya ketidakpercayaan objek pasar yakni pembeli.
Legitimasi undang – undang telah mewariskan namanya kebebasan berpartisipasi terutama subjek masyarakat dalam membantu upaya penegakkan hukum Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Ibu Dewi dengan menyebarkan kabar beras plastik sebagai langkah implementasi atau aktualisasi partisipasi masyarakat dalam berhukum.
Memang lucu negara Indonesia, rakyatlah yang menanggung resiko ketika mereka berpartisipasi. Apalagi sebuah masalah ringan dari masyarakat yang diperdebatkan dengan membandingkan permasalahan besar dari kesalahan pemerintahan :
Pemerintah yang tidak bisa mengotrol harga – harga yang melangit dampak dari pencabutan Subsidi BBM dan peletakkan harga BBM melalui mekanisme pasar bebas yang belum tentu grafik naik maupun stabil.
Pemerintah tidak mampu memberikan sifat proteksional bagi partisipasi,kaula maupun subjek kemampuan masyarakat. Sehingga, masyarakat terasa terancam akan hal kejahatan atas kemiskinan dan hukum yang tidak berimbang
Pemerintah masih belum bisa membuat hukum yang berimbang bagi masyarakat.
Namun kali ini, ketika Ibu Dewi yang rela secara moral dan etika membantu mengungkapkan kejahatan dengan memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia tentang kejahatan beras plastik “JUSTRU” dituduh membuat keresahan dan harus di penjara. Apakah ada konsep menutupi produsen Beras yang plastik ? atau memang pemerintah Indonesia merasa malu dengan aibnya? 
Di samping fakta-fakta minim tentang kebenaran isu tersebut, ada baiknya bila kita mencoba melihat beberapa fakta dari sudut pandang berbeda.
Pertama, beberapa hari sebelum penjual bubur bernama Dewi Septiani mengung­gah ceritanya, isu tentang “beras plastik” su­dah ramai beredar terlebih dahulu di kalangan netizen, lengkap dengan investi­gasi berupa bukti rekaman video “pabrik be­ras plastik” yang ternyata belakangan banyak dibantah oleh para netizen lain yang kritis. Soalnya, pabrik dan mesin yang di-videokan ternyata adalah pabrik pengolahan daur ulang plastik biasa. Dan kebetulan plastik daur ulang selalu dibuat penyelesaian akhirnya berupa pelet yang ukurannya hampir sama dengan butiran beras. Jadi, ada indikasi pembohongan dan pembodohan publik dari penyebaran video ini.

CARA MEMBEDAKAN BERAS SINTETIS DENGAN BERAS ASLI?

Beras sintesis akan terlihat lebih cerah, bening dan tanpa guratan, sedangkan beras asli terdapat guratan dan ada warna putih susu di bagian tengahnya.
Walaupun info mengenai cara untuk membedakan beras plastik dengan beras asli ini masih minim, tapi setidaknya terdapat 5 cara untuk mengetahui bahwa beras yang kita beli tersebut adalah beras asli atau beras plastik.
  1. Dari Segi Fisik
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, beras plastik akan terlihat lebih cerah, bening dan tanpa guratan ketika diletakkan di bawah sinar matahari, sedangkan beras asli berwarna putih susu dan memiliki guratan dari bekas sekam padi. Beras asli juga pada ujung-ujung butir berasnya memiliki warna putih yang merupakan zat kapur yang mengandung Karbohidrat, sedang beras plastik keseluruhan butirnya berwarna bening.
  1. Saat ditanak
Pada saat menanak nasi, beras asli akan menyerap air sehingga nasi akan terlihat lebih mengembang pada saat telah masak. Tapi beras plastik malah akan mengeluarkan banyak air. Beras asli akan berasa pulen dan empuk karena menyerap air. Sedangkan beras plastik akan terlihat banyak mengeluarkan air, mungkin ini dikarenakan pada unsur pembuat plastik meleleh pada saat dimasak.
  1. Dari Segi Rasa
Beras plastik setelah ditanak menjadi nasi akan memiliki tekstur yang aneh di lidah dan mempunyai rasa yang tawar. Berbeda dengan beras asli yang memiliki aroma wangi dan ada sedikit rasa manis.
  1. Posisi Beras Pada Saat di Masak
Pada saat kita memasak nasi, nasi akan mengendap dibawah air, karena nasi sifatnya menyerap air pada saat dimasak, sehingga berat massa dari nasi pun akan bertambah dan akan mengendap di bawah air. Sedangkan beras plastik akan terlihat mengambang di atas air.
  1. Beras Pastik Akan Meleleh
Cara mudah yang terakhir untuk mengetahui bahwa beras yang kita beli adalah beras asli atau beras plastik adalah dengan membakarnya. Beras plastik akan terlihat meleleh pada saat dibakar dan mengeluarkan aroma yang khas plastik terbakar. Berbeda dengan beras asli yang pada saat di bakar akan berwarna gosong dan hanya mengeluarkan bau gosong makanan.

Itulah 5 cara mudah untuk mengetahui atau membedakan antara beras asli dengan beras plastik. Dengan mulai meluasnya penyebaran beras plastik ini, alangkah baiknya kalau kita selalu mengecek terlebih dahulu beras yang akan kita beli. Semoga 5 tips di atas bisa bermanfaat dan menjadikan kita untuk lebih berhati-hati dalam memilah beras yang akan kita beli.

Sumber :

SANKSI FIFA TERHADAP PSSI (tinjauan dari sisi hak pemain dan penonton sepak bola)



Federasi Sepakbola Dunia (FIFA) Secara resmi telah menjatuhkan hukuman kepada federasi sepakbola Indonesia (PSSI) Melalui surat yang diberikan pada 29 Mei 2015. Akibat dari sanksi tersebut tentunya sepakbola Indonesia akan mendapatkan kerugian besar seperti tidak bisanya sepakbola Indonesia untuk mengikuti kompetisi antar klub resmi FIFA dan juga AFC.
Dengan adanya sanksi FIFA Tersebut timnas U-16 dan U-19 sudah dipastikan tidak bisa mengikuti turnamen antar klub asia pada sea Games 2015 ini terkecuali timnas U-23 yang sebelum sanksi itu ada mereka sudah berjalan. Hal ini mendapatkan berbagai pendapatkan pro dan kontra dari berbagai pelosok negeri ini, ada yang bilang jika ini sanksi maka akan lahir dunia baru bagi sepakbola Indonesia untuk berkembang, namun di sisi lain, dengan pembekuan ini maka perkembangan sepakbola Indonesia akan semakin sulit untuk maju.

Sanksi FIFA yang tertulis dalam surat resmi tersebut memeberikan syarat kepada PSSI jika masih ingin berlaga dalam kompetisi eropa dan jika syarat itu dipenuhi maka sanksi tersebut akan dicabut, berikut syarat yang FIFA berikan kepada PSSI dalam surat tersebut :

·         Komite PSSI yang terpilih mampu mengelolah urusan PSSI secara independen dan tanpa pengaruh dan campurtangan dari pihak ketiga termasuk menteri atau lembaganya.

·         Tanggungjawab untuk tim nasional Indonesia wewenangnya dikembalikan kepada PSSI Sepenuhnya bukan badan lainnya

·         Tanggungjawab Semua Kompetisi PSSI Dikembalikan wewenangnya kepada PSSI atau liga yang berada dibawahnya dan

·         Semua klub yang mendapatkan lisensi dari PSSI Berdasarkan regulasi lisensi klub PSSI Mampu bersaing di kompetisi PSSI.

Dengan adanya syarat tersebut, sudah pasti PSSI-lah yang berkewajiban untuk mengurus semuanya bukan politik dan lembaga lain yang ikut mencampuri urusan sepakbola Indonesia, Jika satu lembaga saja bisa mengurusi tanpa ada campur tangan yang lain yang kita tahu memiliki kepentingan sepihak maka sudah pasti FIFA akan memberikan hukuman hal serupa dan sepakbola Indonesia tak akan pernah bisa berkembang sampai kapanpun. Semoga saja ada solusi baik demi kemajuan sepakbola dan generasi berikutnya untuk sepakbola Indonesia

Indonesia menanggung kerugian berlapis setelah Komite Eksekutif FIFA menangguhkan kegiatan PSSI atas pelanggaran Pasal 13 dan 17 Statuta FIFA terkait campur tangan pemerintah dalam urusan asosiasi. Semua klub Indonesia dan tim nasional dilarang ambil bagian dalam agenda kompetisi yang diselenggrakan Asia (AFC) dan dunia (FIFA). Namun tim nasional U-23 Indonesia masih diizinkan berpartisipasi dalam SEA Games 2015 di Singapura.

Selain itu pihak penyelenggara juga terpaksa mengubah jadwal pentandingan dan melakukan pengundian ulang terkait dicoretnya Indonesia dari ajang internasional. Berikut kerugian yang diderita Indonesia dilansir dari situs resmi AFC, Rabu:

1. Piala Dunia Rusia dan Piala Asia Uni Emirat Arab
Indonesia semestinya berada di Grup F Babak kualifikasi putaran kedua namun telah dikeluarkan dari kompetisi. Semua pertandingan yang telah dijadwalkan (Cina Taipei v Indonesia 11 Juni dan Indonesia v Irak 16 Juni) telah dibatalkan.

Imbasnya pada kompetisi adalah perhitungan tim terbaik di posisi kedua klasemen fase grup dalam turnamen akan merujuk pada surat edaran yang telah dikeluarkan Asosiasi Anggota pada 29 April 2015. Semua pihak yang terkena dampak telah diberitahu.

2. Kualifikasi AFC U-16 dan AFC U-19
Indonesia dicoret dari daftar peserta kompetisi AFC U-16 dan AFC U-19 serta tidak ikut undian pada tanggal 5 Juni. Absennya Indonesia memaksa mekanisme undian diperbarui kendati tidak mempengaruhi jumlah grup dalam kompetisi.

3. Kejuaraan Regional Wanita AFC U-14
Indonesia dikeluarkan dari Grup A sehingga baik Grup A dan Grup B sama-sama memiliki empat tim yang berpartisipasi. Perubahan ini akan mempengaruhi tanggal dimulainya kompetisi Grup A menjadi 23 Juni (sebelumnya 20 Juni).

4. Kejuaraan Futsal Wanita AFC Malaysia 2015

Nama tim Indonesia tidak tertera didaftar peserta sehingga mekanisme undian diperbarui kendati tidak mempengaruhi jumlah grup dalam kompetisi.

5. Kejuaraan Futsal AFC 2016 (kualifikasi zona AFF)

Indonesia awalnya ditunjuk tuan rumah kompetisi ini namun pihak otoritas berwenang kemudian mencoret nama Indonesia dan memilih Uzbekistan 2016 menjadi penyelenggara.

6. Piala AFC 2015
Dua klub Indonesia yang lolos ke babak 16 besar Persipura Jayapura dan Persib Bandung resmi dicoret dari kompetisi ini. Sebelumnya Persipura tidak bertanding karena masalah visa tiga pemain Pahang FA.

7. Program pengembangan

Selama hukuman diterapkan, sepakbola Indonesia juga tidak mendapatkan program pembangunan AFC dan FIFA. Pejabat PSSI tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam kursus pelatihan, seminar atau lokakarya AFC atau FIFA.
PSSI sendiri menerima surat dari FIFA tertanggal 4 Mei 2015, di mana isinya memperingatkan agar permasalahan sepak bola Indonesia sebelum tanggal 29 Mei 2015. Ketua Umum PSSI, La Nyalla Matalitti, berniat menyampaikan surat FIFA tersebut secara langsung kepada Menpora Imam Nahrawi di kantornya, sayangnya politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu tak menemui PSSI. 
Dalam surat itu, FIFA menolak tegas adanya intervensi dari pemerintah terhadap sepak bola di belahan dunia manapun. Mereka memberikan batas waktu hingga tanggal 29 Mei 2015 bagi PSSI dan Kemenpora untuk segera menemukan solusi.
"Kami ingin menyampaikan surat FIFA pada pak Menteri yang intinya peringatan dari FIFA sampai batas waktu tanggal 29 Mei 2015, intinya Menpora dan PSSI harus duduk bersama menyelesaikan masalah ini, cabut pembekuan demi sepak bola Indonesia," ujar La Nyalla di kantor Kemenpora, Selasa (5/5/2015).
"Jika sampai tanggal 29 Mei nanti belum terselesaikan, maka dengan berat hati kita tidak bisa ikut SEA Games, Pra Piala Dunia, AFF, dan AFC. Sudah jelas Indonesia tidak bisa berhubungan dengan sepak bola Internasional jika sanksi itu jatuh," lanjutnya. 
(Surat dari FIFA untuk PSS )
Mengenai kegagalannya menemui Menpora, Imam Nahrawi, La Nyalla menambahkan, ini bukan pertama kalinya dia mencoba menemui langsung ke Kemenpora. Namun, niat La Nyalla bertemu Menpora tak pernah membuahkan hasil, kendati dia mengetahui lewat informasi orang Kemenpora bahwa Imam Nahrawi berada di ruangan kantornya saat dia berkunjung.
PSSI sebelumnya memutuskan untuk meniadakan kompetisi ISL musim ini, setelah keputusan pembekuan yang dilakukan Menpora. Selain itu, Menpora juga menginstruksikan kepolisian untuk tidak memberikan izin menggelar pertandingan ISL 2015. La Nyalla memiliki hasrat pribadi untuk segera menyelesaikan kisruh dengan duduk bersama Menpora.
"Saya bermimpi agar segera menyelesaikan masalah ini, sepak bola kita jalan lagi. Saya duduk bersama dengan bapak Menpora, Imam Nahrawi. Jika ingin selesai, kedua pihak harus sama-sama Legowo," pungkas La Nyalla. 

FIFA Mengancam, Indonesia Bersikukuh Bekukan PSSI
Pemerintah Indonesia bersikukuh mempertahankan keputusan membekukan semua kegiatan asosiasi sepak bola nasional PSSI, meskipun FIFA mengancam akan mengeluarkan Indonesia dari kompetisi internasional.
Kementerian Olahraga menerangkan sedang berusaha untuk melakukan perbaikan dan mungkin mengirim tim untuk melobi Federasi Sepakbola Dunia FIFA, setelah lembaga itu mengancam akan menjatuhkan sanksi dan melarang Indonesia ikut dalam kompetisi internasional.
Peringatan FIFA disampaikan lewat surat dan senada dengan surat-surat sebelumnya, FIFA meminta pemerintah Indonesia tidak melakukan intervensi dalam organisasi asosiasi sepakbolanya.
Sebelumnya Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nachrawi membekukan semua kegiatan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) karena sengketa dan kisruh dalam tubuh organisasi itu. Kementerian Olahraga menyatakan akan membentuk tim transisi untuk menyelesaikan sengketa ini.
Menpora Imam Nahrawi menerangkan, ia masih mendalami nama-nama yang akan mengisi tim transisi dan akan mengumumkannya dalam waktu dekat.

FIFA tolak intervensi pemerintah
FIFA menegaskan bahwa otoritas pemerintahan tidak bisa mengintervensi aosiasi dan asosiasi sepak bola yang berada di bawah naungan FIFA harus independen. Dunia sepak bola Indonesia sejak beberapa tahun terakhir mengalami krisis mendalam karena pertarungan klik-klik yang ingin menguasai PSSI, sehingga akhirnya terbentuk dua liga Indonesia yang terpisah.
Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke menerangkan, pemerintah Indonesia harus mencabut keputusannya membekukan PSSI dan memberi batas waktu (deadline) sampai 29 Mei. Jika menolak, Indonesia akan terkena skors.Valcke menegaskan, pemerintah Indonesia melanggar aturan FIFA yang menetapkan bahwa semua asosiasi sepak bola harus mengelola urusan mereka secara independen, tanpa intervensi dari pihak ketiga.
Tanggal 29 Mei bersamaan dengan pemilihan ketua FIFA di Zurich, Swiss. Presiden FIFA saat ini, Sepp Blattter, mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan ke-lima.|
Pemerintah tetap ingin benahi PSSI
Juru bicara Kementerian Olahraga, Gatot Dewa Broto, menerangkan kepada wartawan bahwa pemerintah Indonesia "sangat prihatin dan sangat serius dalam mengatasi masalah ini". Skors dari FIFA akan berarti Indonesia tidak bisa mengikuti kompetisi Asian Games dan Piala Asia.
Namun dia menambahkan, pembekuan PSSI adalah bagian dari upaya perbaikan dan meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia.
"Ini adalah bagian dari upaya perbaikan. Ancaman dari FIFA tidak berarti bahwa pemerintah akan melakukan langkah mundur, karena sudah berada di jalur yang benar," kata Gatot kepada wartawan di Jakarta.
Sengketa di tubuh PSSI juga menyebabkan kemarahan di kalangan pendukung sepak bola. Ratusan penggemar sepak bola menggelar aksi hari Selasa lalu (05/05/15), menuntut Presiden Joko Widodo turun tangan. Mereka menuduh FIFA telah dikuasai oleh "kelompok Mafia" yang hanya ingin mengeruk keuntungan.
PSSI sudah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap Kementerian Pemuda dan Olahraga terkait keputusan pembekuan kegiatan asosiasi. Sidang pengadilan akan dilanjutkan 18 Mei mendatang.

Langkah PSSI dalam Menghadapi Sanksi oleh FIFA
Seperti yang kita ketahui perkembangan sepak bola di Indonesia masih kurang optimal. Ditambah lagi dengan masalah PSSI yang diisukan mendapat sanksi oleh FIFA. Pihak PSSImengaku enggan disalahkan jika sepak bola Indonesia dikenakan sanksi oleh Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA). Hal itu dikemukakan Wakil Sekjen Bidang Luar Negeri PSSI Rudolf Yesayas, saat diminta menanggapi batas waktu dari FIFA untuk menyelesaikan kisruh sepak bola nasional yang jatuh tepat hari ini.
Rudolf mengatakan, PSSI sejauh ini sudah menjalankan amanat dari FIFA untuk menyelesaikan berbagai persoalan mengenai kisruh sepak bola. Salah satu upaya tersebut, kata dia, adalah keinginan untuk merangkul Indonesian Super League (ISL) yang selama ini dianggap sebagai kompetisi ilegal, untuk bergabung di bawah kepengurusan PSSI. Kinerja PSSI yang belum optimal membawa dampak kepada persepakbolaan di Indonesia. Termasuk kisruh yang selalu terjadi pada saat pertandingan sepak bola. Apabila PSSI diberi sanksi oleh FIFA , PSSI enggan disalahkan karena itu bukanlah kesalahan dari PSSI. Pihak PSSI sendiri sudah memenuhi kewajiban seluruhnya.
Apabila pihak PSSI dikenakan sanksi oleh FIFA, kemungkinan besar adalah kesalahan Indonesia dalam menangani berbagai kekisruhan selama ini. Di Indonesia supporter sepak bola kadang membuat keadaan tidak kondusif seperti melempar petasan ke arah lapangan hingga adu mulut dengan lawan supporter. Hal ini sangat memalukan persepakbolaan di Indonesia. Bagaimana bisa persepakbolaan di Indonesia bisa berkembang, kalau keadaan selalu saja tidak kondusif. Perlu diperhatikan untuk Indonesia terutama pihak PSSI agar meminimalisir keadaan yang selalu terjadi kekisruhan . Supaya FIFA tidak memberikan sanksi. Kalau memang FIFA memberikan sanksi kepada PSSI, kemungkinan Indonesia tidak boleh mengikuti event Internasional. Sangat disayangkan sekali apabila pemain sepak bola kita tidak bisa mengikuti event internasional.
Oleh karena itu, dihimbau pihak PSSI maupun menteri olahraga untuk merundingkan bagaimana cara mengatasi apabila tiba-tiba FIFA menjatuhkan sanksi kepada PSSI. Dan juga memikirkan keadaan pemain sepak bola kita yang ingin mengikuti event internasional tersebut.
Komite Eksekutif Federasi Sepak Bola Internasional, Federation Internationale de Football Association (FIFA) akhirnya menjatuhkan sanksi untuk federasi sepakbola Indonesia, PSSI. Dalam surat yang ditandatangani Sekjen FIFA, Jerome Valcke, yang ditujukan kepada Sekjen PSSI Azwan Karim disebutkan, ada pelanggaran statuta FIFA berupa intervensi dari pemerintah Indonesia yang melakukan pembekuan kepada PSSI. Sanksi dari FIFA ini ditanggapi beragam. 
Pengamat sepak bola Hardimen Koto kepada VOA Minggu (31/5) menyebutkan sanksi FIFA adalah sebuah pukulan untuk dunia sepak bola Indonesia.
"Sanksi FIFA adalah pukulan yang jelas menyakitkan buat sepak bola kita. Kita tau dengan sanksi ini, status keanggotaan Indonesia yang selama 63 tahun menjadi members dari FIFA itu tercerabut," ujarnya. 

Sanksi FIFA terhadap Sepak Bola Indonesia Ditanggapi Beragam
Herdimen menjelaskan, akibat sanksi dari FIFA ini, semua tim Indonesia, baik itu tim nasional di semua level usia termasuk klub-klub tidak boleh berinteraksi dengan pergaulan internasional, seperti piala ASIA dan kualifikasi Piala Dunia. Termasuk pula dihapuskannya semua program pengembangan dari FIFA seperti kursus pelatih dan wasit. Dan juga lanjut Herdimen, semua donasi dari FIFA yang bentuknya untuk program pengembangan, dihentikan. 
Namun demikian pendapat berbeda disampaikan oleh pengamat sepak bola Kesit Budi Handoyo. Kepada VOA Kesit memastikan sanksi yang dijatuhkan FIFA bukan akhir dari nasib dunia sepak bola Indonesia. 
Kesit mengatakan, "Apa yang diberikan FIFA kepada PSSI, sejatinya sih dijadikan titik balik, dijadikan momentum, jadi inspirasi buat Indonesia untuk membenahi kondisi sepak bola Indonesia yang selama ini masih morat marit. Jadi saya pikir jangan kemudian sanksi ini menjadikan sepak bola Indonesia itu kiamat. Dunia belum kiamat. Kita masih punya banyak kesempatan untuk membenahi ini."
Kesit berharap, Pemerintah segera melakukan langkah cepat pembenahan dalam tubuh PSSI. Baik terkait soal audit investigatif dugaan ada mafia anggaran maupun juga soal dibukanya kembali jadwal pertandingan kompetisi sepak bola di Indonesia.
"Sekarang memang bola ada di tangan pemerintah. Pemerintah harus menunjukan keseriusannya. Bahwa mereka bisa menjalankan niatnya. Tanpa kemudian membuat persoalan baru. Pembekuan yang dilakukan oleh pemerintah (terhdap PSSI), tidak serta merta mematikan kegiatan sepak bola itu sendiri. Walaupun tidak berada di jalur FIFA, tetapi saya pikir pemerintah punya tuga segera menggulirkan pertandingan sepak bola apapun namanya," tambahnya.

Sementara itu, usai melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah di Indonesia, Presiden Joko Widodo Sabtu malam (30/5) menegaskan, sanksi FIFA menjadi momen penting untuk melakukan pembenahan sepak bola nasional.

Presiden mengaku kecewa dengan prestasi sepak bola selama 10 tahun terakhir, di antaranya adalah peringkat Indonesia di FIFA sejak 2012 hanya bertengger di posisi 156 dan malah turun menjadi peringkat 159 di 2015 ini
"Selama 10 tahun, prestasi kita itu apa? Prestasi PSSI itu apa? Ini saya punya catatan, di 2002, 2006, 2010 tidak lolos kualifikasi Asia. Kemudian di piala Asia AFC, 2004 hanya sampai babak 1. 2007 sampai babak 1. 2011 tidak lolos kualifikasi di tingkat Asia. Kemudian dilihat lagi peringkat di FIFA. Sejak 2012 di angka 156 paling bawah diantara semua negara. 2013, 161 peringkatnya. Di 2014, peringkatnya 159," ujarnya.
Presiden memastikan, dirinya tidak ingin, Indonesia hanya sekedar ikut acara internasional tapi tidak ada prestasi yang membanggakan.
FIFA akhirnya menjatuhkan sanksi kepada federasi sepakbola Indonesia. FIFA menilai pemerintah Indonesia sudah melakukan pelanggaran dan hukuman baru akan dicabut jika intervensi tidak lagi dilakukan. Intervensi pemerintah, sebagaimana disebutkan FIFA, dianggap merupakan pelanggaran atas Pasal 13 dan 17 dari Statuta FIFA. Selama masa hukuman, PSSI kehilangan hak keanggotaannya dan semua tim Indonesia (nasional maupun klub) dilarang melakukan aktivitas internasional termasuk berpartisipasi di kompetisi FIFA dan AFC.
Meski demikian, sanksi FIFA tidak berdampak kepada timnas Indonesia yang akan berlaga di SEA Games 2015 di Singapura. Sebagai pengecualian, timnas Indonesia bisa berkompetisi di SEA Games sampai selesai.


Wednesday, June 10, 2015

KEMELUT DI GOLKAR (tinjauan dari sisi hukum)


PARTAI politik seharusnya menjadi teladan dalam pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, fungsi tersebut sering bersilang sengkarut dengan tujuan naluriah partai, yakni untuk meraih kekuasaan.

Atas dasar tujuan tersebut, agenda pendidikan politik dan rekrutmen pemimpin sering terabaikan. Kerap terjadi gejolak dan benturan dengan partai lain, bahkan di dalam tubuh partai itu sendiri.

Itulah yang kini sedang melanda Partai Golkar. Partai berlambang beringin itu terbelah dua faksi, yakni faksi Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie dan kubu Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono.

Mahkamah Partai Golkar yang digadang-gadang bisa menyelesaikan konflik mengeluarkan putusan abu-abu. Empat anggota mahkamah partai tidak bulat memutus sengketa itu. Kesamaan pendapat terjadi antara Muladi dan HAS Natabaya yang memutuskan tidak memenangkan satu pihak, sementara Djasri Marin dan Andi Mattalatta secara tegas memenangkan kubu Agung Laksono.

Putusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dua hari lalu yang mengesahkan kepengurusan versi Agung Laksono ternyata juga tidak mendorong kedua faksi segera bersatu. Kubu Aburizal malah melakukan langkah hukum dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak sampai di situ, badai di tubuh Golkar juga merembet ke pidana setelah kubu Aburizal melaporkan dugaan mandat palsu yang dilakukan sejumlah pengurus versi Agung Laksono.

Perseturuan internal Golkar tidak hanya di DPP, tetapi juga merembet ke provinsi dan kabupaten/kota. Di Lampung, Golkar memiliki dua kepengurusan, yakni Ketua DPD I versi Munas Bali di bawah kendali M Alzier Dianis Thabranie dan Ketua DPD I Golkar versi Munas Ancol Heru Sambodo.

Akar dari konflik ini sebenarnya adalah perbedaan orientasi dua faksi. Faksi Agung Laksono ingin bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sedangkan faksi Aburizal ingin menjadi oposisi bersama Koalisi Merah Putih (KMP).

Konflik yang berlarut-larut ini jika tidak segera diselesaikan akan semakin memperburuk citra Golkar di masyarakat. Bahkan, bisa mengancam eksistensi partai itu dalam pemilihan umum kepala daerah serentak yang akan digelar akhir tahun ini. Partai yang memiliki jumlah kursi yang cukup signifikan itu terancam tidak bisa mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Kedua kubu sudah sepatutnya menyamakan persepsi tentang posisi Golkar pasca-Pilpres 2014. Berada dalam pemerintahan tidaklah haram. Begitu juga jika ingin menjadi oposisi juga pilihan yang baik, asalkan tidak bertujuan merongrong pemerintah.

Seluruh kader Golkar harus kembali bersatu melakukan konsolidasi untuk menyusun program sekaligus menyongsong pemilukada serentak 2015 dan mempersiapkan Pemilu 2019. Di negara hukum ini, semua orang harus menghargai proses hukum lebih dari cara-cara yang lain, apalagi cara anarki. Itu sebabnya, sambil menunggu kepastian hukum yang final, semua pihak yang bertikai hendaknya saling membuka diri untuk berislah.

Beringin harus kembali teduh mengayomi seluruh kader. Sebab, mengayomi, menyejahterakan rakyat, dan menyiapkan pemimpin berkualitas lebih penting ketimbang berkonflik.

Belakangan muncul istilah Musyawarah Nasional (Munas) Tandingan dan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Tandingan di dalam tubuh Partai Golkar. Tuduhan itu ditujukan terhadap Munas yang berlangsung di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014, termasuk keputusan-keputusannya. Pasalnya, pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2014, juga berlangsung Munas di Bali. Dua struktur kepengurusanpun sudah dilaporkan kepada Kementerian Hukum dan HAM guna diverifikasi dan dinyatakan sebagai kepengurusan yang sah menurut hukum positif yang berlaku.
Banyak pendapat berserakan di media massa menyangkut Munas mana yang legal, mana yang abal-abal. Termasuk putusan-putusan yang sudah diambil. Di luar itu, konflik yang dihadapi Partai Golkar sekarang adalah konflik terbesar sepanjang sejarah partai moderen ini. Dalam usia 50 tahun, partai politik tertua ini justru mengalami masalah yang akan mengubah wajah Partai Golkar ke depan. Bukan hanya sisi legalitas, melainkan juga dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan.
Sehingga, diperlukan kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah ini, baik dari kalangan internal Partai Golkar, maupun pihak terkait termasuk dan terutama pemerintah dan lembaga peradilan. Apabila penanganan yang dilakukan emosional dan berdasarkan pamer kekuasaan semata, bisa dipastikan bahwa Partai Golkar bakalan mengalami konflik permanen, struktural dan masif yang sulit dicarikan jalan keluar. Konflik yang selama ini terkelola dengan baik, hanya berlangsung secara tertutup, belakangan menjadi terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas.

Akar Konflik
Apabila diurutkan secara kronologis, tanpa menyertakan tanggal-tanggal, akar konflik Partai Golkar dapat dirunutkan sebagai berikut:

Pertama, pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta. Mandat itu berisi dua opsi, yakni (1) menetapkan ARB sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar, dan (2) memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin komunikasi dan koalisi dengan partai politik manapun. Fakta politik yang terjadi, ARB tidak menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam pemahaman yang berbeda, mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah membawa Partai Golkar untuk mengusung pasangan Capres dari non kader dan partai politik lain.

Kedua, upaya Partai Golkar mengusung Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus, fungsionaris dan kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup, beberapa pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK. Keberadaan JK sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan itu. Di sinilah drama dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk tidak memecat kader seperti itu, ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB mengatakan bahwa pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan jabatan, selama Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada pemecatan tiga orang kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.

Ketiga, masalah baru kemudian muncul, yakni waktu pelaksanaan Munas Partai Golkar. Kader-kader senior yang terlibat dalam Munas Riau, mengingatkan soal perbedaan antara Anggaran Dasar Partai Golkar dengan rekomendasi Munas. Sesuai dengan amanat pasal 30 Anggaran Dasar Partai Golkar, Munas adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun. Mengingat Munas Riau 2009 berakhir pada tanggal 08 Oktober 2009, berarti Munas Partai Golkar dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 08 Oktober 2014. Hanya saja, ada rekomendasi Munas Riau yang menyebutkan perpanjangan waktu kepengurusan, sampai tahun 2015. Upaya untuk mendesak agar Munas Partai Golkar disesuaikan dengan AD Partai Golkar dilakukan.

Keempat, bukannya malah berupaya memberikan penjelasan yang memadai menyangkut perbedaan tafsiran antara penganut AD Partai Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP Partai Golkar dibawah ARB malahan memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai Golkar yang mendesak Munas dilaksanakan sesuai dengan AD Partai Golkar. Sejumlah pengurus dicopot atau digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan, “Apa mereka yang menghendaki Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan sebagai Dewan Pengurus DPP Partai Golkar?” Konflik ini bisa diselesaikan, walau tetap saja sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai Golkar, nyaris tanpa komunikasi politik yang cukup.

Kelima, situasi baru muncul, akibat voting menyangkut UU tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah di DPR RI. Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ternyata mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah. Sanksi kemudian datang dengan cepat, yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam tubuh Partai Golkar. Konflik baru ini masih terbatas, tidak meluas. Kalangan elite Partai Golkar malah semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi Munas pada bulan Januari 2015. Kandidat-kandidat Ketua Umum Partai Golkar bermunculan, antara lain Agung Laksono, MS Hidayat, Airlangga Hartarto, Priyo Budi Santoso, Hadjriyanto Thohari, Zainuddin Amali dan Agus Gumiwang. Kandidat-kandidat yang bersaing itu melakukan konsolidasi secara diam-diam atau terang-terangan.

Keenam, konflik baru muncul, akibat pergerakan di lapangan. Atas nama DPP Partai Golkar, terjadi penggalangan politik untuk mengusung ARB sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar untuk kedua kalinya. Gerakan itu melibatkan DPD-DPD I Partai Golkar. Pertemuan-pertemuan tertutup diadakan, baik di Jakarta, maupun di masing-masing pulau atau provinsi. Masalahnya, antara gerakan politik dengan ucapan berseberangan. Hal inilah yang memicu desas-desus politik yang sulit dikendalikan. Desas-desus itu bertambah runyam, ketika kandidat Ketua Umum Partai Golkar diluar ARB dibatasi pergerakannya. Bahkan, atas nama revitalisasi kepengurusan, sejumlah pengurus Partai Golkar di daerah-daerah digeser atau dicopot dari jabatannya, mengulangi  pola yang terjadi dalam tubuh DPP Partai Golkar.

Ketujuh, masalah jegal-menjegal tentu sudah “biasa” di kalangan politisi, hanya saja tercium upaya agar Munas Partai Golkar dilakukan tidak sesuai dengan jadwal yang sudah “sama-sama dimaklumi”, yakni Januari 2015. Dalam keadaan semacam itu, diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mencarikan jalan keluar. Rapat Pleno memutuskan agar Rapimnas VII Partai Golkar sama sekali tidak membahas agenda Munas Partai Golkar, melainkan hanya membahas isu-isu aktual. Sebelum Rapat Pleno diadakan, sudah terjadi Rapat Koordinasi Partai Golkar dengan menghadirkan DPD-DPD I di Bandung. Skenario tertutupnya adalah Munas dilakukan sesegera mungkin, dengan tujuan memenangkan ARB sebagai Ketum. Namun, upaya itu berhasil dipatahkan dalam Rapat Pleno DPP Partai Golkar. Walau demikian, pergerakan politik terus dilakukan, yakni pertemuan informal antara DPD I Partai Golkar dengan Nurdin Halid di Bali. Secara bersama-sama, mereka ingin datang ke acara Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta, langsung dari Bali.

Kedelapan, situasi menjadi matang, ketika Rapimnas VII Partai Golkar di Yogyakarta ternyata membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal Munas disepakati, yakni 30 November – 2 Desember 2014. Tempat Munaspun ditetapkan, yakni Bandung, dengan opsi Surabaya dan Bali. Para pengurus DPP Partai Golkar yang berbeda tafsiran menyangkut kewenangan Rapimnas, sebagaimana diatur dalam AD-ART Partai Golkar, sama sekali diabaikan.

Kesembilan, konflik yang bersifat tertutup kemudian menjadi terbuka, diawali ketika diadakan Rapat Pleno DPP Partai Golkar guna mengesahkan rancangan materi Munas Partai Golkar. Walau mengusai penuh arena Rapimnas Partai Golkar yang dikendalikan oleh DPD-DPD I Partai Golkar, ternyata mayoritas pengurus DPP Partai Golkar semakin sulit dikendalikan. Kedatangan “AMPG” yang berpakaian lengkap, baru dan berjalan rapi, ternyata mengundang sentimen baru. Dalam waktu beberapa saat saja, muncul ratusan “AMPG” lagi, sehingga memicu konflik terbuka. Rapat Pleno DPP Partai Golkar gagal dilaksanakan, terutama dalam rangka mendengarkan paparan SC Munas, guna disahkan sebagai draft Munas Partai Golkar pada masing-masing komisi. Upaya untuk menskor Rapat Pleno, ternyata berbuah kepada perebutan palu. Ketua Umum Partai Golkar ARB dan Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham kemudia dipecat, karena dianggap tidak mampu melanjutkan Rapat Pleno hingga selesai, sebagai syarat legal guna menuju arena Munas. Sejak saat itulah, terbentuk Pejabat Sementara Ketua Umum Partai Golkar, lalu Presidium Penyelamat Partai Golkar sebagai wadah politiknya. DPP Partai Golkar dikuasai secara penuh.

Kesepuluh, walau tidak berhasil mengendalikan DPP Partai Golkar, serta dalam status pemecatan terhadap Ketua Umum dan Sekjen, Munas Partai Golkar tetap diselenggarakan di Bali, pada tanggal November – 2 Desember 2014. Perbedaan pendapat terjadi, termasuk di kalangan Presidium Penyelamat Partai Golkar. Munas Partai Golkar di Bali dipantau dari dekat. Upaya islah yang coba dilakukan oleh Dr Akbar Tandjung ternyata tidak berhasil. Sesuai dengan upaya dan skenario yang sudah dilakukan sebelumnya, terjadi Laporan Pertanggungjawaban Ketua Umum Partai Golkar yang sudah tidak lagi mewakili mandat yang dibawa dari Rapat Pleno DPP Partai Golkar.  

Kesebelas, tanpa menunggu waktu lama sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU tentang Partai Politik berkaitan dengan pendaftaran kepengurusan, DPP Partai Golkar dengan pejabat sementara Ketua Umum Agung Laksono, melakukan Munas di Ancol pada 6-8 Desember 2014. Kedua Munas melahirkan dua kepengurusan. Proses pendaftaran kepada Kementerian Hukum dan HAM dilakukan pada hari yang sama, yakni 08 Desember 2014. Lalu, disinilah dimulai etape berikutnya menyangkut keberadaan Partai Golkar ke depan.

KETERBELAHAN Partai Golkar antara kubu Munas Bali (Aburizal Bakrie cs) versus kubu Munas Ancol (Agung Laksono cs), berujung tragis! Pemerintahan Jokowi-JK melalui Kemenkumham "menolak dengan cara sangat halus" untuk mengakui keabsahan kepengurusan hasil Munas Bali maupun Munas Ancol. Keputusan untuk hanya mengakui kepengurusan hasil Munas Pekanbaru 2009 dan mengembalikan kemelut Golkar ke mahkamah partai, sejatinya sama dengan menyuruh Golkar melakukan Munas ulang. Seperti diketahui, Munas Pekanbaru antara lain memutuskan Aburizal sebagai ketua umum Golkar, dan Agung sebagai wakil ketua umum.

Keputusan tersebut tepat, sebab dengan begitu Pemerintah tidak ikut-ikutan "bermain api" yang hanya akan membakar "tumpahan bensin" di areal rumah tangga Golkar.  Keputusan tersebut pun cukup taktis dari kepentingan stabilitas pemerintahan. Dapatlah dibayangkan, apabila Pemerintah mengakui salah satu kubu, maka energi kerja Pemerintah bakal terkuras menghadapi "serangan politik" yang kian liar dari kubu yang kecewa. 
Bila dicermati, perpecahan Golkar bersumber pada masalah ideologis. Sejak mulanya, ideologi Golkar adalah "Karya-kekaryaan", yang mengandaikan Golkar mengambil posisi seiring-sejalan dengan setiap pemerintahan. Political positioning ini dimaksudkan agar Golkar aktif berkarya dalam pembangunan menuju tercapainya kesejahteraan rakyat sebagai pertanggujawaban amanat penderitaan rakyat. 
Mengacu pada warta media, bila dicermati dengan seksama, kubu Agung menganggap Munas Bali di bawah pengaruh Aburizal telah mengambil posisi politik yang rentan dengan cara  menolak Perppu Pilkada. Keputusan ini dianggap dapat memicu resistensi politik di tengah masyarakat. Kekecewaan masyarakat bisa membuat Golkar kian terasing dan terpinggir dalam kompetisi pemilu,  dan bukan tidak mungkin bisa mengakibatkan Golkar tertinggal sebagai partai fosil. 
Munas Bali telah mengambil posisi politik berseberangan dengan rezim Jokowi-JK, dengan memperkuat positioning dan struktur Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kekuatan oposisi. Munas Bali pun mendorong pembentukan struktur KMP hingga ke wilayah Kabupaten/Kota, sebuah tindakan politik yang dipandang sungguh beresiko karena potensial merongrong stabilitas pemerintahan hasil Pilpres 2014.  Muncul kecurigaan Aburizal bakal membonceng KMP dalam menyiapkan strategi pelemahan sistem presidensial melalui tangan parlemen yang bisa saja melahirkan drama politik impeachment.
Mungkin saja, kubu Agung menganggap hasil Munas Bali menyimpan potensi bahaya politik yang sangat besar atas eksistensi dan masa depan Golkar. Indikasinya, Munas versi Agung cs yang sebelumnya direncananya berlangsung pada Januari, tiba-tiba dimajukan hanya beberapa hari setelah usainya Munas Bali versi Aburizal. Diperkirakan,  tindakan cepat Agung menggelar Munas Ancol merupakan langkah antitesa untuk menjaga marwah karya-kekaryaan Golkar.  Indikasinya, Munas Ancol pun membuka ruang kompromis dengan rezim Jokowi-JK dengan harapan agar Golkar tetap dapat berkarya dalam pemerintahan.
Sebaliknya, kubu Aburizal memandang Munas Bali telah sah berdasarkan ketentuan konstitusi partai (AD/ART). Bisa jadi, kubu Aburizal memandang bahwa memperkuat posisi Golkar sebagai kekuatan penyeimbang (oposisi),  merupakan bagian dari konstribusi Golkar dalam pembangunan bangsa. Apalagi Golkar telah mendeklarasikan Visi 2045 di mana Golkar berikhtiar membawa Indonesia menjadi negara kesejahteraan (walfare state).
 
PERPECAHAN Golkar saat ini menjadi ironi terbesar dalam perjalanan sejarah Golkar sebagai kekuatan politik paling berpengaruh di Indonesia selama puluhan tahun berjalan. Suka tidak suka, senang tidak senang, mau tidak mau, setelah Pemerintah menolak mengakui kepengurusan versi Munas Bali dan versi Munas Ancol, maka secepatnya Golkar mesti mencarikan solusi untuk mengatasi kemelut internalnya.
Solusi paling rasional dan tidak mungkin terhindarkan adalah menyelenggarakan kembali Munas Golkar yang bernuansa rekonsiliasi, atau boleh pula disebut sebagai Munas luar biasa. Dengan demikian, Munas IX tahun 2014 yang diklaim oleh kedua kubu (Bali dan Ancol) sama-sama sah dan sesuai AD/ART, harus diulang penyelenggaraannya oleh kepengurusan hasil Munas Pekanbaru 2009. Itu artinya, Munas rekonsiliasi itu harus menyertakan sekaligus Aburizal dan Agung sebagai penyelenggaranya.
Namun, jika kedua kubu ngotot, dan gagal merealisasikan Munas rekonsiliasi, maka kondisi Golkar bakal menjadi lebih kacau, ibarat ungkapan "menang  jadi abu, kalah jadi arang".  Munas rekonsiliasi mesti diposisikan sebagai gerakan antitesis dari konflik konyol yang terlanjur memecah-belah Golkar. Munas rekonsiliasi mesti diarahkan untuk menegakkan kembali eksistensi Golkar sebagai partai berbasis kebangsaan yang menjadi pelopor pertumbuhan budaya demokrasi dan pengelolaan sistem demokrasi di Indonesia.
Linear dengan amanat UUD 1945 bahwa partai politik merupakan sokoguru demokrasi, maka Munas rekonsiliasi mesti mampu memilih pemimpinnya melalui cara-cara demokratis, bukan dengan cara-cara kotor dan menghalalkan segala cara. Dari perspektif substansi, Munas rekonsiliasi mesti mampu membuktikan bahwa Golkar adalah partai besar yang mengandalkan rasionalitas konstitusi,  dan bukan intrik-intrik politik rendahan.
Golkar bakal memetik respek kolektif dari internal Golkar sendiri maupun eksternal Golkar, apabila kedua tokoh kunci yang berseteru yakni Aburizal dan Agung mau berjiwa besar untuk tidak maju lagi dalam pertarungan merebut posisi ketua umum. Selain karena keduanya terlanjur menyimpan potensi konflik di Golkar, juga karena Golkar sudah harus melakukan regenerasi kepemimpinan. Sosok Aburizal dan Agung semestinya sudah jadi bagian dari pengayom dan pemberi pertimbangan bagi Golkar. Lompatan generasi dari era Aburizal-Agung, ke generasi yang lebih muda, bakal makin memperkuat positioning dan pengaruh Golkar dalam percaturan politik kontemporer Indonesia di masa datang.